![]() |
Ilustrasi (Foto: Pexels) |
Muslimahkertas.web.id, Di era serba cepat ini, ramai orang-orang membicarakan slow living. Slow living kini menjadi tren gaya hidup yang ramai diperbincangkan dan dianut.
Inti dari slow living adalah menjalani hidup dengan ritme yang lebih tenang dalam segala segi dan aspek kehidupan. Semua itu dilakukan agar aktifitas dapat lebih bermakna.
Sebagai seorang muslim, bolehkah ikut-ikutan dengan tren tersebut? Atau jangan-jangan, sebenarnya slow living ini justru adalah nilai Islam itu sendiri. Di sinilah peran kita untuk mengkritisi apakah slow living itu sejalan dengan nilai-nilai Islam?
Sekilas tentang Slow Living
Konsep slow living yang merupakan tren di Barat ini sebenarnya bukan berasal dari teori tunggal, tapi merupakan pendekatan multidisipliner dari mulai gerakan sosial hingga ragam bidang keilmuan baik filsafat maupun psikologi.
Asal muasal slow living bermula dari tren slow food di Italia pada tahun 1980 an sebagai bentuk respon terhadap budaya cepat saji dan serba instan.
Berangkat dari sana, slow living ini kemudian merambah ke berbagai aspek kehidupan.
Memang tidak bersifat baku atau ilmiah, tapi sebenarnya prinsip-prinsip slow living memuat pemikiran tenang makna hidup (meaningfullness) yang selaras dengan pemikiran para tokoh seperti Carl R. Rogers dengan konsep fully function person, dan tokoh lainnya yang juga menyinggung seputar makna hidup (meaningfulness), kesadaran penuh (mindfulness), dan otentisitas hidup (authentic living).
Carl Honore melalui karyanya yang bejudul: In Praise of Slow (2010) juga menjadi buku best seller rujukan. Karya Carl Honore inilah yang juga mempelopori konsep slow living modern yang tengah populer. Kurang lebih buku tersebut menggambarkan pentingnya ritme yang sadar, memilih kualitas dari pada kuantitas, serta menghargai momen atau kesadaran penuh.
Dari segi gerakan sosial, George Berthelsen pada tahun 1999 melalui gerakan yang ia beri nama The Slow Living Vision – The World Institute of Slowness mempromosikan slow living sebagai cara hidup yang penuh makna, terkoneksi, seimbang, dan berkelanjutan.
Ada 4 prinsip gerakan tersebut: quality over quantity (kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas), presence over haste (kehadiran penuh lebih penting daripada ketergesaan), sustainability over excess (keberlanjutan lebih utama daripada berlebihan), serta balance between action and reflection (keseimbangan antara tindakan dan perenungan).
Slow Living dalam Pandangan Islam
![]() |
Ilustrasi (Foto: Pexels) |
Slow living adalah konsep modern yang lahir dari konteks sekuler dan budaya Barat, yang merespons stres, kapitalisme, dan kehidupan serba cepat. Ia muncul sebagai gaya hidup alternatif, bukan sebagai sistem hidup yang sakral atau terikat wahyu.
Islam memiliki prinsip-prinsip sendiri yang telah mengatur ritme kehidupan manusia jauh sebelum istilah slow living dikenal.
1. Mengutamakan kualitas
Dalam slow living, terdapat konsep mengutamakan kualitas dari pada kuantitas. Ini sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Mulk ayat 2, Allah Swt. menggunakan redaksi ahsanu 'amalan (amal yang paling baik), bukan aktsaru 'amalan (amal yang paling banyak).
Ini menandakan bahwa Allah melihat kualitas amal hambaNya, bukan kuantitasnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan makna maksud berkualitas menurut versi Islam dan Barat.
Menurut Islam, standar berkualitas adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah. Sedangkan kualitas hidup versi Barat lebih kepada kenyamanan dan kepuasan pribadi sehingga terkesan subjektif, juga tanpa diniatkan ibadah seperti halnya dalam Islam.
2. Khusyuk
Dalam Islam, istilah khusyuk merujuk pada keadaan seorang hamba yang hadir sepenuhnya dalam beribadah. Hudhurul qalbi (hadirnya hati) ini tentu dengan keyakinan menghamba secara totalitas kepada Allah.
Seseorang dikatakan khusyuk ketika ia mampu berkonsentrasi sepenuhnya tanpa ada lintasan-lintasan dalam benak dan pikiran.
Hal ini sejalan dengan konsep kesadaran penuh (mindfullness) dalam slow living. Kesadaran penuh versi Barat berorientasi pada aktifitas yang lebih bermakna. Namun tidak memuat nilai-nilai ketuhanan di dalamnya.
Sebagai contoh, seseorang benar-benar menikmati aktifitas makan tanpa gadget. Ia menikmati suasana demi suapan dan mengunyahnya perlahan, merasakan aroma hingga memperhatikan teksturnya.
Tentu keadaan ini menjadikan aktifitas makannya lebih bermakna. Dalam Islam, lebih dari sekedar menjadikan makan bermakna, tapi juga peluang untuk meningkatkan rasa syukur hingga menjadikan aktifitas makannya sebagai bagian dari ibadah.
Khusyuk dalam Islam menekankan hudhurul qalbi sebagai bentuk ketunduk patuhan hanya kepada Allah melalui ibadah yang terkonsentrasi secara penuh.
Sedangkan presence (hadir sepenuhnya) versi Barat banyak terinspirasi dari meditasi dan teknik mindfullness sekuler.
Benang merah yang bisa diambil adalah presence di sini menjadi semacam teknik manajemen diri di kalangan Barat. Tetapi dalam Islam, lebih dari sekedar itu. Karena sudah menjadi bagian dari muatan akhlak dan spiritual.
3. Ta'ani atau tuma'ninah
Jika khusyuk berkenaan dengan konsentrasi hati di dalam beribadah, sedangkan tuma'ninah adalah sesuatu dapat dilihat dari ekspresi tubuh yang tenang. Jika khusyuk dalam salat disunahkan, sedangkan tuma'ninah merupakan bagian dari rukun salat.
Ta'ani dengan tuma'ninah itu semakna sebagai sikap tenang karena akar katanya sama. Salat yang tuma'ninah menunjukkan ritme gerakan yang tenang dan tidak tergesa-gesa di setiap perpindahan gerakan salat.
Ajaran untuk bersikap tidak terburu-buru, tidak gegabah, sudah sedari dulu didakwahkan syariat, jauh sebelum konsep slow living diisukan hingga menjadi buah bibir seperti saat sekarang.
Konsep menghindari haste (tergesa-gesa) pun ada perbedaannya. Jika di Barat haste dihindari karena dapat menyebabkan stres. Tetapi dalam Islam, dikenal konsep 'ajalah yang harus dihindari karena berasal dari setan. Ada sebentuk keyakinan yang tidak sama dengan konsep Barat yang menghindari haste agar memperlambat ritme hidup serta untuk pengelolaan stres.
Dalam Islam, 'ajalah harus dihindari untuk menarik diri dari perbuatan yang disukai setan. Adapun tergesa-gesa yang diperbolehkan dalam Islam, itu menjadi pengecualian dalam bahasan yang lain lagi.
Rupanya ketetapan syariat untuk tidak terburu-buru atau serba cepat ini berdampak positif pada pengelolaan stres seperti yang sedang tren saat ini.
4. Seimbang
5. Tidak Israf
Kritik terhadap Slow Living Islami
![]() |
Ilustrasi (Foto: Pexels) |
Berdasarkan penjelasan di atas, memang terdapat prinsip slow living yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Namun pada akhirnya, selalu terdapat perbedaan berupa muatan 'ubudiyah yang tidak sama dengan konsep Barat.
Banyak sekali artikel yang menghubungkan slow living dengan Islam. Tetapi belum tentu penjelasan mereka disertai dislaimer bahwa Islam tidak mengadopsi sepenuhnya konsep Barat tersebut.
Mereka semestinya menggunakan frasa prinsip-prinsip Islam yang mirip atau sejalan dengan slow living. Sebab Islam tidak mengadopsi gaya hidup Barat secara utuh.
Kalaupun sejalan, tidak seluruhnya seirama, bisa jadi hanya mirip di permukaan. Seperti halnya konsep demi konsep yang sudah dijelaskan di atas. Slow living dan prinsip hidup Islami sebatas mirip pada permukaan, tetapi berbeda dalam fondasi dan orientasi.
Contoh praktiknya, mindfulness dalam psikologi modern dan khusyuk dalam Islam: keduanya berbicara tentang kesadaran, tetapi yang satu berpusat pada diri, sedangkan yang lain berpusat pada Allah.
Sebagai contoh, konsep meaningfullness atau hidup yang bermakna. Kaum Barat bisa relatif mendefinisikan hidup bermakna untuk mencapai kepuasan batin. Tetapi dalam Islam, hidup bermakna itu melibatkan Allah dalam hatinya. Ada hubungan transeden yang tidak sama dengan konsep Barat.
Contoh lainnya, konsep presence sebagai kesadaran penuh. Dalam Islam, dikenal istilah khusyuk, tidak hanya sadar yang menyentuh sisi emosi dan kognitif, tapi juga spiritual yang bernilai ibadah.
Pada makna slow living sekalipun juga ada sedikit perbedaan. Jika slowness dimaknai ritme yang pelan dan lambat untuk kualitas hidup. Tetapi dalam Islam, dikenal istilah ta'ani atau tuma'ninah.
Dalam hadis, ta'ani (ketenangan) itu dari Allah. Sedangkan tergesa-gesa dari setan. Sehingga makna slow di sini lebih kepada sarana mencapai kebaikan dan menghindari kesalahan dalam beramal. Terlihat sekali kontras perbedaannya dengan konsep Barat yang hanya sekedar menjadikannya tujuan.
Dari paparan di atas, jelas bahwa tidak sedikit nilai slow living yang sejalan dengan ajaran Islam. Tetapi sejalan yang hanya sampai permukaan. Sebab pada akhirnya, selalu terdapat perbedaan dari segi orientasi dan tujuan hingga kedalaman makna.
Jika hanya menggunakan istilah harfiyah atau padanan kata, jelas tidak akan ditemukan perbedaan dan akan terkesan sama. Tetapi ketika dipertemukan secara praktiknya, Islam selalu melibatkan orientasi ibadah dalam karakteristik slow livingnya yang tidak sama dengan perspektif Barat.
Perlu dipahami bahwa ada nilai-nilai kesadaran, ketenangan, keseimbangan, dan kesederhanaan dalam slow living yang selaras dengan ajaran Islam, tapi Islam mengatur itu semua dalam kerangka ibadah dan akhlak, bukan semata demi ketenangan batin atau estetika hidup.
Artinya, Islam sebagai sistem hidup menyeluruh yang terikat wahyu, sedangkan slow living semacam pendekatan gaya hidup yang bisa saja berubah sesuai tren karena sifatnya yang fleksibel. Sebagai gambaran utuh, kamu bisa baca: panduan slow living Islami untuk muslimah.
Demikian mengenai penjelasan slow living dalam pandangan Islam. Adapun artikel atau buku yang menghubungkan slow living dengan Islam, sebenarnya tidak sedang menyatakan bahwa Islam ikut-ikutan tren, tapi semacam reinterpretasi slow living dengan nilai-nilai Islam namun tentu tidak mengadopsinya secara utuh.